Mimin jadi berpikir, daripada punya pikiran untuk bunuh diri, lebih baik punya pintu bunuh diri; terkesan berkelas dan langka |
“Min, sudah ngga punya semangat hidup aku ini,” ujar Momon dengan tatapan memelas. “Aku sudah ga kuat dengan semua ini. Cara mati yang enak gimana ya?”
“Tunggu dulu Mon, kalo disurvei, kenapa cowok kalo bunuh diri lebih milih terjun dari gedung atau gantung diri, tapi kalo cewek, dengan mengiris tangan atau kalo nggak gitu, minum racun?”
“Kebanyakan seperti itu Min… apa perlu diteliti jadi proyek psikologimu?” ujar Mumun.
“Sudah pingin ma--ti…” rintih Momon.
“Cowok udah nggak mikir jadi apa nanti kalo mati, yang penting matinya cepet, pakai cara-cara itu tadi,” kata Mumun tidak menghiraukan rintihan Momon.
“Kalo cewek, pikir-pikir dulu, nanti sayang kalo wajahnya rusak. Mau terbang dari gedung, iya kalo langsung mati enggak apa-apa, tapi kalo jadinya cuma setengah mati, terluka, atau cacat, kan malu. Mau gantung diri, sudah matinya lama, sakit, jadinya juga jelek (sambil memeragakan orang tercekik dengan lidah menjulur keluar).. belum kalo sebelum mati kepergok orang, terus ditanyai, lagi apa dik, apa nggak malu?” cerocos Mimin.
“Eh, tapi sekarang orang bunuh diri caranya sudah lebih variatif Min. Hasilnya pun mendekati keinginan. Tiduran di rel kereta api, terus ada yang, seperti yang baru kemarin masuk koran, nyebur ke kolam buaya..hoek. Kalo ada kontes bunuh diri pasti pesertanya membludak. Kayaknya cewek-cewek yang niat bunuh diri juga nggak sepenakut perkiraan kita tadi, kali aja karena udah jaman emansipasi. Yang lebih memalukan kalo sudah pamitan mau mati, terus nggak jadi..” Mumun menimpali.
“Ada Mun tetanggaku sedesa yang seperti itu. Ibu muda nyebur ke sumur di sawah, eh ternyata air di dalam sumur cuma sepinggang. Ga jadi mati deh. Tapi kalo ada yang bikin kontes cara kreatif bunuh diri, pasti banyak yang ikut Mun. Pemenangnya yang punya cara mati paling cepat, enak ngga pakai sakit, murah lagi.”
“Haha.. masih kepingin mati kamu Mon?” tanya Mumun.
“Ya pingin.. daripada jadi manusia gagal, tidak berguna.”
“Mon, emang sudah siap kalo nanti ditanyai malaikat? Haduh Mon, nanti di alam kubur kan nunggu kiamat. Terus kiamatnya masih lama. Apa ngga nyesel nanti?” tanya Mimin.
“Masalahnya kamu ga ngerti apa yang kurasakan Min.”
“Pingin pindah jurusan itu? Soal orang itu?” tukas Mimin.
“Tapi kalo kamu memang nekat mau mati, coba aja. Kalo alam kubur seperti yang disebutkan dalam kitab suci itu nggak ada, selamat. Apalagi kamu bisa balik hidup lagi. Bisa berbagi rahasia berwisata ke alam kubur pergi pulang. Pasti banyak yang minat. Tapi kalo alam itu nyata adanya, selamat menikmatinya! Jangan harap minta bantuanku saat diwawancarai duo malaikat penjaga alam kubur,” Mumun menanggapi.
“Terus gimana dong Mun?” tanya Momon.
“Kenapa, nggak jadi berani mati? Kematianmu mempersukses program keluarga berencana Mon. Tapi daripada bunuh diri, lebih baik bunuh orang yang menyebabkanmu ingin melakukannya. Habis itu masih bisa tobat.”
“Mon, daripada bunuh diri lebih baik kau bunuh masalahmu. Begitu masalah yang sekarang mati, baru ganti masuk ke masalah yang baru. Kamu kan ngga sendiri. Kalo bosan memendam sendiri, cerita saja padaku atau Mumun, kami ngga rugi kok,” kata Mimin.
“Ahh.., kalian ini, aku bosan jadi penggembira terus. Ga berbuat apa-apa minta bantuan terus,” ujar Momon.
“Mendingan jadi penggembira daripada jadi tukang nakut-nakutin orang! Coba, kalau kamu benar-benar mati bunuh diri, banyak orang yang akan kau bikin repot. Sejudes apa pun ibumu pasti akan menangisimu, mungkin merasa gagal mendidik anak. Terus, bisnis bapak kos kita ini juga terancam. Ada anak kos ini yang mati bunuh diri, awas kosnya berhantu, siapa yang ngga mikir dulu kalo mau sewa tempat di sini? Belum lagi kematianmu bisa membuatku ngga doyan makan berhari-hari. Keterlaluan!” Mumun menyahuti.
“Mon, depresimu bisa membantu meluluskan mereka yang tertarik buat meneliti fenomena ini. Jadi dirimu ini bukan tak berguna. Jadi penggembira buatku saja sudah membuatku berhutang terima kasih padamu,” ucapan Mimin menurunkan ketegangan di ruangan kecil itu.
“Mmm… ntar dulu kupikir lagi Min. Teringat di dunia senangnya tebar pesona. Maunya sih ga gitu, tapi pingin.. ya sudah Min, aku pingin yang lain aja, daripada mati..” kata Momon.
----- &&& -----
Pagi-pagi sekali, terdengar dari depan jendela kamar Momon yang sudah dibuka,
“Makan apaa anak dan istriku besok?”
“Mon, kamu ngapain? Kok bicara sendiri?”
“Mumun, pasti kamu ga tahu aku semalaman ga tidur bikin cerita ini,” kata Momon sambil melambaikan secarik kertas.
“Maksudmu?”
“Mas Eris itu Mun. Dia kan belum lulus kuliah. Istrinya juga belum, sudah mau punya anak kedua. Selain itu dia punya tanggungan dua adik kembar yang harus dibiayai sekolahnya. Pasti pusing dia.”
“Oh, ngerti aku. Jadi pupus sudah keinginanmu buat mati kan?”
Sebelum sempat dijawab, satu peringatan terdengar tiba-tiba…