Harus juga dicatat, adalah keliru mengatakan, “penghilangan thimerosal” karena mereka tidak menghilangkan apapun. Mereka hanya berencana menghentikannya pada vaksin yang dibuat di waktu mendatang. Sebelum itu terlaksana, mereka memakai vaksin yang ada di stok yang berjumlah jutaan dosis. Dan herannya, pemerintah mengizinkannya.
Lebih susah dipercaya lagi bahwa AAP dan American Academy of Family Practice (AAFP) sama-sama merekomendasikan kebijakan gila ini. Kenyataannya, secara khusus mereka menyatakan anak-anak harus terus diimunisasi dengan vaksin-vaksin berthimerosal itu sampai vaksin baru yang bebas thimerosal dapat diproduksi sesuai keinginan pabrik. Apakah mereka takut akan terjadi wabah difteri mendadak di Amerika, atau wabah tetanus?
Solusi paling jelas adalah dengan (mengemas vaksin dalam) vial dosis tunggal, sehingga tidak memerlukan pengawet. Jadi, mengapa mereka tidak melakukannya?
Oh, mereka katakan hal itu akan memperberat biaya vaksin. Jelas, kita sebatas mengatakan paling banyak butuh sedikit dolar per vaksin, yang tentu akan berharga bagi otak dan masa depan anak Anda. Mereka bisa memakai ratusan juta dolar yang dihabiskan untuk promosi vaksin tiap tahunnya untuk menutup biaya pengemasannya untuk rakyat miskin. Itu akan mengurangi tebalnya dompet kita dan kita tidak melakukannya.
Terungkap bahwa thimerosal ada dalam seluruh vaksin flu, DPT (dan sebagian besar DTaP) dan seluruh vaksin HepB.
Saat mereka mulai berkonsentrasi pada masalah di hadapan, kita mulai belajar bahwa problem terbesar dalam pertemuan ini adalah, mereka nyaris tidak tahu apa-apa yang tengah mereka lakukan. Pada halaman 15 misalnya, mereka mengakui bahwa data farmakokinetik (etilmerkuri, sebagai bentuk merkuri dalam thimerosal) adalah sangat sedikit. Faktanya, mereka berkata tidak ada data ekskresi dan data toksisitasnya sangat kecil. Tetapi, thimerosal dikenal menyebabkan hipersensitifitas, masalah neurologis dan bahkan kematian, dan diketahui dengan mudah menerobos sawar darah-otak dan plasenta.
Karena itu, mereka mengakui bahwa kita punya satu bentuk merkuri yang telah dipergunakan dalam vaksin sejak tahun 1930an dan tidak seorangpun yang tergerak untuk mengkaji efeknya terhadap sistem biologis, khususnya pada otak bayi. Pembelaan diri mereka di sepanjang konferensi ini berlangsung adalah “kami tidak mengetahui efek dari etilmerkuri.” Solusinya, mereka kembali ke kajian terhadap metilmerkuri, karena terdapat ribuan penelitian terhadap bentuk merkuri ini. Sumber utama metilmerkuri berasal dari konsumsi makanan laut.
Perlu waktu sesaat bagi mereka untuk memahami kedua bentuk merkuri itu, karena di beberapa halaman laporan itu, mereka mengatakan bahwa yang terdapat di dalam vaksin adalah metilmerkuri, bukan etilmerkuri. Hal itu bisa dimaafkan.
Di halaman 16, dr. Johnson, seorang imunolog dan dokter anak di University of Colorado School of Medicine dan National Jewish Center for Immunology and Respiratory Medicine, mengatakan bahwa dia ingin melihat pelibatan keamanan dengan margin yang luas, yaitu 3 hingga 10 kali lipat untuk “menjelaskan ketidakpastian data.” Yang dimaksudkannya adalah, kita tidak tahu tentang toksin ini sehingga lebih baik kita menggunakan margin keamanan yang sangat luas. Pada sebagian besar zat (aktif), FDA memakai margin keamanan 100 kali lipat.
Alasannya, dan itu tidak mereka sebutkan, di masyarakat yang terdiri dari ratusan juta orang terdapat kelompok-kelompok orang yang jauh lebih sensitif pada toksin dibandingkan kelompok yang lain. Misalnya, orang yang sudah tua, orang yang punya penyakit kronis, kekurangan gizi, bayi bertubuh kecil, bayi prematur, orang yang mengonsumsi obat-obatan tertentu, orang yang memiliki kelainan detoksifikasi sejak lahir dan masih banyak lagi.
Adalah fakta jika dalam kajian ini mereka tidak memasukkan bayi prematur dan bayi berbobot lahir rendah dalam kajian utama, yang beberapa dari bayi-bayi itu memiliki level merkuri tertinggi, karena hal ini akan sulit dikaji dan karena bayi-bayi itu paling banyak terkena gangguan perkembangan, yang kemungkinan terkait dengan merkuri.
Masih di halaman 16, dr. Johnson membuat pernyataan yang sulit dipercaya, yang menegaskan masalah yang kita hadapi di negeri ini dengan para penganjur vaksin ini. Katanya, “Di lain sisi, kita menemukan adanya perbedaan kultural antara para vaksinolog dan pegiat kesehatan lingkungan dan pada kita (yang berkecimpung) di bidang vaksin, faktor-faktor ketidakpastian ini tak pernah terpikirkan sebelumnya. Kita cenderung untuk berpikir secara relatif konkret.” Lanjutnya, “Salah satu peristiwa kultural yang besar dalam pertemuan itu adalah saat dr. Clarkson berulangkali menyampaikan bahwa kita tidak mengerti mengenai ketiadakpastian itu, dan saat itu beliau sungguh benar.”
Ini pengakuan yang susah dipercaya. Pertama, apa itu vaksinolog? Apakah Anda bersekolah untuk menjadi seorang vaksinolog? Berapa tahun yang dipersyaratkan untuk residency training? Adakah ujian boardnya? Vaksinolog adalah sebuah istilah bodoh yang dipakai untuk mendeskripsikan orang yang terobsesi dengan vaksin, bukan karena mereka benar-benar mempelajari dampak vaksin, seperti yang akan kita lihat selama pertemuan itu.
Yang paling penting adalah pengakuan dr. Johnson bahwa dirinya dan rekan-rekan ‘vaksinolog’nya sangat terbutakan oleh obsesi mereka dengan memaksakan vaksin kepada masyarakat. Para ‘vaksinolog’ itu belum pernah berpikir tentang kemungkinan adanya faktor-faktor yang terlibat dan bisa berpengaruh besar bagi kesehatan manusia, yaitu yang mereka sebut sebagai ‘ketidakpastian.’
Lebih jauh, mereka suka berpikir secara konkret, yaitu berpikir dengan sangat sempit sambil memakai penutup mata yang mencegah mereka untuk melihat banyaknya masalah yang sedang terjadi setelah vaksinasi besar-besaran pada bayi dan anak-anak. Tujuan dalam hidup mereka adalah memvaksin sebanyak mungkin orang dengan vaksin yang jumlahnya semakin banyak saja.
Pada halaman 17, sekali lagi ‘pemikiran konkret’nya mengemuka. Dokter Johnson merujuk pada pertemuan Bathesda mengenai isu keamanan thimerosal dan berkata, “tidak ada bukti adanya suatu masalah, (itu) sekadar keprihatinan teoritis bahwa otak bayi yang sedang berkembang terpapar pada suatu organomerkurial.”
Tentu, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, hal itu lebih dari sekadar ‘keprihatinan teoritis.’ Kemudian dia berkata, “Sementara tidak ada bukti adanya masalah, kami sepakat bahwa dengan semakin banyaknya vaksin yang disuntikkan ke anak, maka secara teori risiko paparan merkuripun meningkat.”
Sulit untuk memahami, seorang ilmuwan tulen tidak melihat ironi luar biasa dari pernyataan ini. Literatur kedokteran itu dipenuhi dengan kajian-kajian tentang efek yang mengganggu dari merkuri pada banyak enzim, produksi energi mitokondria, fungsi sinaps, retraksi dendrit, disolusi neurotubular dan eksitotoksisitas, namun, dia hanya mengetahui ‘risiko teoritis’ yang terhubung dengan meningkatnya penambahan vaksin berthimerosal.
Penting juga untuk dicatat bahwa para jenius ini bahkan belum pernah melihat suatu masalah secara langsung. Masalah itu merupakan tekanan dari ilwuwan-ilmuwan luar, para orang tua yang anak-anaknya terkena dampak (buruk) vaksin dan kelompok-kelompok yang mewakili merekalah yang menunjukkan permasalahan itu. Intinya, para pakar dalam pertemuan itu bereaksi terhadap tekanan dari luar ‘klub vaksinolog’ dan secara internal tidak menemukan bahwa suatu masalah ‘mungkin’ terjadi.
Kenyataannya, bila kelompok-kelompok luar ini tidak terlibat, para ‘vaksinolog’ ini akan terus saja memperbanyak vaksin bermerkuri ke daftar vaksin yang diharuskan. Hanya ketika masalahnya menjadi sangat jelas, yaitu telah menjadi wabah (sekarang itu hampir terjadi) dan praktisi hukum terlibat, baru mereka mengerti bahwa telah terjadi suatu masalah. Ini adalah tema berulang yang terjadi di lembaga-lembaga regulasi pemerintah, seperti yang kita saksikan terjadi pada masalah fluoride, aspartam, MSG, dioksin dan pestisida.
Menarik juga ketika dr. Johnson benar-benar mengakui bahwa risiko paling berat menimpa bayi berbobot lahir rendah dan bayi prematur. Sekarang, mengapa hal itu terjadi jika telah diterapkan keamaan bermargin luas pada merkuri yang digunakan dalam vaksin? Dapatkah selisih berat beberapa pon menyebabkan perbedaan sedramatis itu?
Secara nyata, itu memang bisa, namun hal itu juga berarti bahwa anak berbobot lahir normal, khususnya yang jaraknya mendekati batas bawah bobot lahir normal, juga terancam bahaya yang lebih besar. Itu juga berarti bahwa anak-anak yang mendapat merkuri dengan dosis di atas 75 µg pada studi ini juga akan terkena risiko tinggi karena besarnya dosis, berdasar pada berat badan, akan sebanding dengan anak berbobot lahir rendah yang menerima dosis yang dengan angka dibawahnya. Hal ini bahkan tidak pernah dipertimbangkan oleh ‘pakar-pakar vaksinologis’ yang menentukan kebijakan bagi anak-anak Anda.
Sekarang, pernyataan berikut mestinya membuat setiap orang terguncang, terutama orang awam yang berpikir bahwa ‘para vaksinolog ini’ menginginkan hal terbaik (untuk kesehatan manusia). Dokter Johnson berkata pada halaman 17, “Kita setuju untuk menghilangkan merkuri dari vaksin-vaksin yang dilisensi Amerika Serikat, tapi kami tidak setuju jika ini menjadi rekomendasi universal karena terkait dengan pengawet untuk vaksin yang dikirim ke negara lain, khususnya negara-negara berkembang, tidak didukung data yang menunjukkan kenyataan bahwa hal itu bermasalah.”
Anda lihat di sini. Data itu cukup meyakinkan sehingga membuat AAP dan AAFP, juga lembaga-lembaga regulasi dan CDC bersama-sama merekomendasikan penghilangannya secepat mungkin karena peduli akan efek samping merkuri terhadap perkembangan otak, terkecuali anak-anak di negara berkembang.
Tujuan Program Kesehatan Anak yang Sebenarnya
Dulu saya pikir gagasan program kesehatan anak di Amerika Serikat yang ditujukan untuk negara-negara berkembang adalah untuk membuka kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin di dunia yang semakin ketat bersaing. Kebijakan yang disahkan (ternyata) akan meningkatkan masalah-masalah perkembangan saraf yang terlihat pada anak-anak miskin di negara berkembang, termasuk di Amerika sendiri, mengurangi kemampuan mereka untuk belajar dan mengembangkan pemikiran yang kompetitif.
Ingat, di situ ada perwakilan dari WHO, dr. John Clements, yang didapuk sebagai ‘pakar.’ Sedikitpun dia tidak menentang pernyataan dr. Johnson tadi.
Perlu juga diperhatikan jika anak-anak di negara berkembang terkena risiko yang jauh lebih besar akibat toksisitas merkuri dalam vaksin dibandingkan anak-anak di negara maju. Penyebabnya adalah gizi buruk, infeksi parasit dan bakteri yang bersamaan dan tingginya angka bayi berbobot lahir rendah pada anak-anak itu.
Kita kini menyaksikan suatu bencana di negara-negara Afrika yang disebabkan oleh penggunaan vaksin virus hidup polio lama yang menyebarkan wabah polio yang terkait vaksin; artinya, polio yang ditimbulkan oleh vaksin itu sendiri. Faktanya, di beberapa negara Afrika, polio tidak ditemukan hingga vaksin itu diperkenalkan di sana.
Bagaimana WHO dan para ‘pakar vaksin’ dari negeri ini kini membenarkan berlanjutnya program vaksinasi polio dengan vaksin berbahaya itu? Mereka telah menciptakan wabah polio, mereka tidak bisa menghentikan program itu.
Dalam sebuah artikel terkini, ditekankan bahwa ini adalah alasan yang paling gila, karena semakin banyak vaksin berarti semakin banyak kasus polio terkait vaksin. Namun, para ‘vaksinolog’ kesulitan menghadapi ‘ketidakpastian-ketidakpastian’ ini. (Jacob JT, A Developing Country Perspective on Vaccine-Associated Paralytic Poliomyelitis, Bulletin WHO 2004; 82: 53-58. Lihat komentar oleh DM Salisbury di akhir artikel).
Dokter Johnson kembali menekankan filosofi kesehatan anak-anak itu adalah nomor dua setelah ‘program ini’ dengan mengatakan, “Kita melihat sejumlah data yang meyakinkan bahwa penundaan vaksin HepB setelah kelahiran akan memicu penyakit yang nyata sebagai konsekuensi dari lepasnya kesempatan untuk mengimunisasi.” Pernyataan ini menyiratkan anak-anak kita akan terbahayakan oleh risiko terkena hepatitis B apabila program vaksin berhenti memvaksin bayi yang baru lahir dengan vaksin HepB.
Pada kenyataan, pernyataan ini sama sekali tidak berdasar pada risiko yang didapat oleh anak-anak di Amerika Serikat dan dia memperlugasnya dengan kata-kata, “dampak yang memungkinkan terjadi di negara-negara yang memiliki 10-15 persen bayi baru lahir dengan risiko terpapar hepatitis B sangat sulit untuk dipertimbangkan.” (halaman 18)
Taktik Menakut-Nakuti
Dengan kata lain, risiko itu tidak normal terjadi pada anak-anak Amerika, tapi wajar terjadi di negara-negara berkembang. Satu-satunya kelompok anak yang terkena risiko ini adalah mereka yang terlahir dari orang tua pecandu obat-obatan, para ibu yang terinfeksi hepatitis B atau orang tua yang terinveksi HIV. Alasan untuk memvaksin bayi yang baru lahir adalah untuk memerangkap mereka sebelum mereka bisa lolos dari program vaksin para ‘vaksinolog.’
Inilah taktik yang sering dipakai untuk menakut-nakuti para ibu agar memvaksin anak-anak mereka. Sebagai contoh, mereka katakan bila anak-anak tidak divaksin campak, jutaan anak bisa meninggal selama terjadi wabah campak.
Mereka tahu ini bohong. Yang mereka lakukan adalah membawa contoh yang diambil dari negara-negara berkembang dengan fungsi imun dan gizi yang buruk, sehingga kematian akibat wabah itu bisa terjadi. Di Amerika Serikat, kita tidak akan melihatnya karena pemenuhan gizi, fasilitas kesehatan dan sanitasi yang lebih baik. Adalah fakta bahwa sebagian besar kematian ketika campak berjangkit di Amerika Serikat terjadi pada situasi seperti berikut:
- Vaksinasi dikontraindikasikan
- Vaksin tidak bekerja
- Anak-anak dengan penyakit kronis, yang menekan kekebalan tubuh.
Faktanya, pada hampir semua penelitian, anak-anak yang terkena campak atau penyakit kanak-kanak yang lain ini telah diimunisasi lengkap atau sebagian. Rahasia besar di antara ‘vaksinolog’ adalah bahwa 20-50 persen anak tidak kebal terhadap penyakit yang mereka telah mendapat vaksinnya.
Masih pada halaman 18, dr. Johnson berkata di depan komite bahwa dr. Walt Orensteinlah yang “mengajukan pertanyaan paling provokatif yang memantik diskusi dengan porsi besar. Pertanyaannya adalah, haruskah kita mencari hasil dari perkembangan saraf pada anak-anak yang terpapar beragam dosis merkuri dengan menggunakan data dari Vaccine Safety Datalink, yang bersumber dari satu website atau lebih.”
Dari sini saya simpulkan bahwa tidak seorangpun yang berpikiran untuk memeriksa data yang telah bertahun-tahun ada di sana tanpa tinjauan. Bisa saja terjadi kematian anak dalam jumlah besar atau anak-anak mengalami kecacatan dalam perkembangan saraf akibat program vaksin dan tidak seorangpun di pemerintahan mengetahuinya. Begitulah kenyataan yang terjadi yang tersampaikan lewat data ini, setidaknya tentang keterlambatan dalam perkembangan saraf.
Kita seharusnya juga berterimakasih pemerintah mensponsori dua konferensi mengenai peran yang mungkin dimainkan oleh logam, aluminium dan merkuri di dalam vaksin tanpa ada perubahan kebijakan vaksin sesudah berlangsungnya pertemuan itu. Dua konferensi itu diadakan setahun sebelum pertemuan di Georgia ini dan sebelum data yang dipegang erat oleh CDC ini diperiksa; data ini tidak boleh sampai ke para peneliti lain yang independen dan berkualitas bagus. (Saya akan bicara tentang perihal yang dibahas dalam konferensi aluminium di lain waktu).
Konferensi aluminium itu sangat penting dan hanya dirujuk dalam pertemuan ini karena hal itu memang benar. Seandainya masyarakat tahu apa yang didiskusikan dalam pertemuan aluminium itu, maka tak akan ada orang yang mau divaksin dengan jenis vaksin yang diproduksi sekarang ini.
Di samping isu yang dibahas dalam konferensi aluminium dan literatur ilmiah tentang neurotoksisitas aluminium, dr. Johnson menyatakan seperti ini, “Garam-garam aluminium memiliki margin keamanan yang sangat luas. Aluminium dan merkuri sering diberikan secara bersama kepada bayi, pada tempat penyuntikan yang sama dan berbeda.”
Masih di halaman 20, dia berkata, “Tetapi, kita telah mempelajari bahwa sama sekali tidak ada data, termasuk data dari binatang, mengenai potensi terjadinya sinergi, adisi, atau antagonisme, yang semua itu bisa terjadi dalam campuran logam biner (berpasangan).”
Sampai di sini, penting bagi kita untuk memahami penipuan yang kerap dipakai oleh mereka yang berusaha membela suatu praktik yang tidak bisa dipertahankan. Mereka menggunakan bahasa yang sama (seperti) yang dikutip barusan, yaitu tidak ada data yang menunjukkan, dan sebagainya, dan sebagainya. Mereka bermaksud untuk menyampaikan ide bahwa masalah itu telah diperiksa dan dikaji secara teliti dan tidak ada toksisitas yang ditemukan. Sesungguhnya, itu bermakna bahwa tidak seorangpun yang sudah memeriksa kemungkinan ini dan belum pernah ada kajian yang akan memberi kita jawaban begini atau begitu.
Fakta: kita tahu aluminium adalah neurotoksin (racun saraf) yang nyata-nyata memiliki banyak mekanisme yang sama dengan merkuri sebagai neurotoksin. Sebagai contoh, keduanya bersifat toksik terhadap neurotubulus saraf, mengganggu enzim-enzim antioksidan, meracuni enzim-enzim perbaikan DNA, mengacaukan produksi energi mitokondria, menghalangi protein-protein pengabsorbsi glutamat (GLT-1 dan GLAST), berikatan dengan DNA dan mengganggu fungsi membran saraf. Toksin-toksin yang memiliki kesamaan mekanisme hampir seluruhnya bersifat aditif dan seringnya sinergis dalam hal toksisitas. Jadi, pernyataan dr. Johnson itu bohong belaka.
Sejumlah studi telah menunjukkan kedua logam itu berperan nyata dalam semua kelainan nurodegeneratif. Penting pula untuk diingat, keduanya menumpuk di otak dan saraf tulang belakang. Hal ini menjadikan mereka toksin yang bersifat menumpuk dan karena itu jauh lebih berbahaya daripada toksin-toksin yang dikeluarkan dengan cepat.
Melompat ke halaman 23, dr. Tom Sinks, Associate Director for Science di Pusat Kesehatan Lingkungan Nasional CDC dan Acting Division Director for Division of Birth Defects, Developmental of Disabilities and Health, bertanya, “Saya ingin tahu, adakah hasil yang berhubungan dengan garam-garam aluminium yang mungkin bermakna untuk diskusi kita hari ini?”
Dokter Martin Meyers, Acting Director di Kantor Program Vaksin Nasional menjawab, “Tidak, saya tidak percaya ada soal kesehatan khusus yang diangkat.” Ini dikatakan setelah suatu konferensi aluminium diselenggarakan setahun sebelumnya yang di sana memang ditemukan masalah kesehatan yang nyata, dan sebuah literatur ilmiah yang ekstensif menunjukkan perhatian yang besar terhadap aluminium.
Pada halaman 24, dr. William Weil, dokter anak yang mewakili Committee on Environmental Health of the American Academy of Pediatrics, mengemukakan pendiriannya dalam diskusi itu dengan mengingatkan, “Ada sejumlah besar data (tentang) perkembangan saraf yang akan merekomendasikan bahwa kita punya suatu masalah yang serius. Semakin awal, semakin serius pula masalahnya.” Yang dr. Weil maksudkan adalah, semakin awal Anda memvaksin dalam masa perkembangan otak anak, semakin besar kemungkinan kerusakan itu terjadi pada bayi. Saya harus memberinya kredit; setidaknya dengan jelas dia menyadari bahwa sejumlah perkembangan otak yang penting terjadi kemudian. Dia juga mengingatkan kolega-koleganya bahwa aluminium menyebabkan dimensia yang parah dan kematian pada kasus-kasus dialisis. Dia menyimpulkan, “Berpikir bahwa tidak ada masalah serius yang timbul adalah jauh dari kenyataan.” (halaman 25)
Tidak rela berhenti disitu, dr. Meyers menambahkan, “Kami mengadakan pertemuan tentang aluminium dan ion-ion logam dalam pertemuan biologi dan obat-obatan, kami cepat mengenali bahwa dengan ketiadaan data, kami tidak tahu tentang aktivitas adisi atau inhibisi.” Sekali lagi kita melihat permainan ‘tidak ada data.’ Ada data yang melimpah tentang efek aluminium yang merunsak otak, dengan jumlah yang berarti yang diungkap di pertemuan itu.
Dokter Johnson juga mengutip dr.Thomas Clarkson, yang mengenalkan diri sebagai berasal dari program merkuri di Universitas Rochester, yang mengatakan bahwa menunda vaksin HepB selama sekitar 6 bulan tidak akan mempengaruhi beban merkuri (halaman 20). Dia membuat kesimpulan yang benar dengan mengatakan, “Saya akan memikirkan bahwa perbedaan itu terletak pada waktunya. Yaitu Anda melindungi masa enam bulan pertama selama perkembangan sistem saraf pusat.”
Puji Tuhan, sekilas saya pikir mereka telah menemukan konsep yang paling mendasar dalam neurotoksikologi. Lalu dr. Meyers menggetok harapan saya dengan berkata bahwa vaksin dosis tunggal, yang terpisah, tidak akan berpengaruh pada level darah sama sekali. Kali ini, kita perlu sedikit pencerahan. Penting untuk dipahami kalau merkuri adalah logam yang larut dalam lemak. Artinya, merkuri disimpan dalam lemak tubuh. Sekarang, dalam diskusi ini mereka menetapkan bahwa metilmerkuri yang dicerna dieksresi dalam waktu beberapa bulan. Sebuah studi terkini menemukan etilmerkuri memiliki waktu paruh 7 hari.
Meski demikian, sejumlah merkuri yang signifikan akan masuk ke dalam otak (merkuri telah terbukti mampu melewati sawar darah otak dengan mudah), yang di situ disimpan dalam fosfolipid (lemak). Dengan tiap dosis baru, dan ingat bahwa anak-anak menerima sebanyak 22 dosis vaksin bermerkuri ini, dosis lain ini akan ditambahkan ke tempat penyimpanan otak. Inilah alasan kami menyebut merkuri sebagai racun akumulatif (bersifat menumpuk). Satu kalipun mereka tidak menyebutkan fakta vital ini selama konferensi berlangsung. Tidak sekalipun. Lebih jauh, mereka melakukannya karena sesungguhnya, tindakan yang mereka ambil memberi jaminan bagi orang-orang yang tidak waspada, yang tidak terlatih dalam neurosains, bahwa yang penting adalah level darah.
Ternyata, di halaman 163, dr. Robert Brent, seorang developmental biologist dan dokter anak di Thomas Jefferson University dan Dupont Hospital for Children, berkata bahwa kita tidak mempunyai data yang menunjukkan akumulasi dan “dengan paparan berlipat ganda Anda memperoleh level yang lebih tinggi, dan kita tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak.” Dia berlepas diri dengan mengatakan bahwa sejumlah kerusakan bersifat tak dapat diperbaiki dan dengan tiap dosis (yang ditambahkan), semakin banyak kerusakan yang tak bisa diperbaiki yang terjadi dan dengan begitu merkuri bersifat akumulatif.
Di halaman 21, dr. Thomas Clarkson membuat pernyataan yang sulit dipercaya yang menyiratkan dirinya tidak mengetahui adanya kajian yang menunjukkan paparan merkuri setelah kelahiran atau pada bulan keenam akan punya efek yang mengganggu. Dokter Isabelle Rapin, seorang neurolog anak di Albert Einstein College of Medicine, melanjutkan dengan berkata, “Saya bukan seorang pakar merkuri pada bayi”, namun dia tahu bahwa merkuri bisa mempengaruhi saraf (sistem saraf perifer/tepi).
Jadi, inilah salah seorang diantara para ‘pakar’ kita yang mengakui dirinya hanya tahu sedikit tentang efek merkuri pada bayi. Pertanyaan saya: mengapa dia hadir di sini? Dokter Rapin adalah seorang neurolog anak di Albert Einstein College of Medicine yang menyatakan bahwa dia punya minat yang mendalam pada kelainan-kelainan perkembangan, khususnya kelainan yang melibatkan bahasa dan autisme, tapi dia hanya tahu sedikit mengenai efek merkuri terhadap otak bayi.
Bersambung ke Bagian 3
0 comments:
Post a Comment
I'd love to hear you saying something: