Showing posts with label imunisasi. Show all posts
Showing posts with label imunisasi. Show all posts

9/26/2016

Blog Anti Vaksin

Whoa... ketika Anda mencari atau googling kata kunci blog anti vaksin, Anda mungkin akan sampai di halaman ini. Karena, dengan keyword itu, blog ini ada di page 1 hasil pencarian.

Apakah penulis blog ini adalah seorang anti vaksin?

blog antivaksin

Yang menolak vaksin mentah-mentah tanpa mau mendengarkan apa kata para ahli bidang kesehatan?

Yang perlu dikutuk karena membahayakan kesehatan orang dan atau anak-anak lain di sekitar?

Yang jelas, saya memang sangat-sangat tertarik untuk mencari tahu apapun yang punya hubungan dengan vaksin, vaksinasi, dan imunisasi. Manifestasi dari instink 'hubbul istithla'', rasa penasaran yang hebat untuk mengetahui sesuatu. 

Dan sesuatu itu adalah tentang vaksinasi tadi. Yang saya dapat dari pencarian itu sebagiannya saya coba tulis di sini.

Seorang teman saya bilang, sekarang ini adalah zamannya sosmed. Setiap orang, setiap penggunanya bebas untuk menyampaikan pendapat. Jadi boleh dong saya menyuarakan isi pikiran saya.  

Kalau saya lebih condong ke tidak memvaksin, tentu saya punya alasan tersendiri. Yang lebih penting lagi adalah kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan pilihan tersebut.

Vaksinasi itu buat saya, lebih banyak ruginya daripada manfaatnya. Kalaulah ada satu-satunya produk di zaman modern ini yang setiap orang dikenakan kewajiban untuk menggunakannya, produk itu adalah vaksin. Produk-produk lain tidak akan sampai dikampanyekan secara masif, bahkan dipaksakan untuk diberikan ke tiap individu seperti vaksin, seberapapun pentingnya. 

Sebenarnya, kalau vaksin memang sudah terbukti aman, efektif, dengan harga yang terjangkau oleh setiap kalangan, saya mungkin akan berubah pendirian. Ada sih, vaksin yang sudah lama dipraktikkan di bidang homeopati -homeoprofilaksis- yang mampu memenuhi kriteria aman, efektif, dan terjangkau tadi. 

Masalahnya, tidak ada pabrikan vaksin yang mau memproduksinya. Karena harganya murah dan sangat mungkin, mereka tidak akan bisa mengeruk untung besar darinya.   

Siapa yang selalu diuntungkan dari program imunisasi masal/wajib? Meski semua vaksin itu gratis, bukankah pihak pabrikan vaksin akan tetap menerima aliran dana dari subsidi pemerintah yang berasal dari pendapatan negara? Itu uang rakyat juga kan?

Produk farmasi lain, semisal obat atau alat kontrasepsi hanya akan diberikan kepada yang mau memakainya. Lain dengan vaksin. 

Jika ada yang menolak vaksin, terlepas dari apapun alasannya, sering sekali orang seperti ini dibully dan dilabeli tidak menyokong kesehatan umat. 

Pendapat yang saling bertentangan, pro vaksin dan anti vaksin itu punya pijakan masing-masing. Jika terdapat dua hal yang bertentangan, kewajiban orang tua adalah melihat mana yang lebih kuat untuk diikuti. 

Bukan sekadar ikut-ikutan menolak atau mengiyakan.  

Saya terlanjur membaca sejumlah tulisan terkait dan punya kesimpulan jika memvaksin lebih berbahaya daripada tidak memvaksin. Argumen dari para kritikus vaksin ditambah apa yang saya lihat dan rasakan di sekitar lebih meyakinkan dan berbobot daripada argumen yang diungkapkan oleh para pendukung vaksinasi.

Kalau vaksin memang efektif, mengapa ada saja orang tua yang begitu khawatir jika anak-anaknya yang sudah divaksin lengkap bermain bersama anak orang lain yang tidak divaksin? 

Toh tubuh mereka sudah kebal karena vaksin. 

Kalau masih menganggap berbaur dengan anak non vaksin itu berbahaya, apa itu tidak sama dengan menganggap vaksin yang diterimanya tidak ampuh? Lantas mengapa pula mau divaksin?

Kalau orang macam saya disebut berbahaya karena akan mengacaukan cakupan imunisasi (vaksinasi) sehingga prosentase minimal herd immunity aka kekebalan kelompok tidak terpenuhi.. Bukankah herd immunity itu aslinya akan terjadi bila suatu komunitas terkena wabah penyakit tertentu, sehingga setelah sembuh, manusianya akan kebal sampai mati? 

Mengapa prinsip herd immunity yang berasal dari infeksi alami kemudian diaplikasikan ke vaksinasi yang merupakan 'infeksi' buatan? Herd immunity dari hasil vaksinasi itu telah terpatahkan sedemikian rupa karena tidak terbukti. 

Mudahnya, sebagai contoh, jika herd immunity harus mencakup 95% dari populasi -bukan hanya anak-anak-, berapa persen dari penduduk Indonesia yang tidak divaksin campak hari ini?

Yang sering juga terjadi, orang terkena penyakit dari vaksinnya sendiri. Vaksin polio misalnya, bisa membuat seseorang terkena polio. Vaksin polio menjadi penyebab nomor satu kelumpuhan akibat polio. Sudah banyak yang membahas masalah ini, tinggal cari di internet.

Ow, cuma mengandalkan internet lantas berani bicara??  

Itu dikembalikan ke individunya..

Vaksin campak di negeri kita dimulai tahun 1983. Yang disasar adalah balita. Sekarang, dari 250 juta penduduk, berapa yang sudah divaksin campak? Generasi yang lahir sebelum tahun 80-an, sangat banyak yang tidak divaksin campak. 

Tentu, cakupan 95% untuk syarat herd immunity itu tidak tercapai. Apakah penjangkitan atau wabah campak yang fatal terjadi di negeri kita tercinta pada masa sekarang?

Ada banyak kisah tragis kecacatan atau kematian terkait vaksin yang bisa dengan mudah kita dapatkan. Kalau para pejabat kesehatan tetap ngotot vaksin itu aman-aman saja, bukankah itu seperti menuduh para ibu yang menceritakan kondisi anaknya yang cedera atau bahkan meninggal sesudah divaksin itu berdusta? Sanevax.org punya data melimpah tentang hal itu.

Para pengritik vaksin atau kebijakannya itu bukan berkata tanpa sains. Masih menurut mereka, sains vaksin itu belum tuntas, belum berakhir dengan kesimpulan tunggal yang mengunggulkan vaksin. Sudah banyak kajian yang mendapati hal sebaliknya. 

Mereka, para kritikus vaksin itu adalah manusia real yang sebagian besarnya masih bernafas hari ini.

Memang saya rasa ada juga orang penolak vaksin yang asal bicara, bahkan sampai membuat tuduhan keji yang dialamatkan pada para tenaga medis. Sialnya, para tenaga medis juga mau-maunya menanggapi argumen mereka, kadang sama emosinya.

Kalau yang menjadi persoalan dalam vaksin adalah kehalalannya, maka, begitu pabrikan vaksin mampu membuat vaksin halal, urusan selesai. Tapi, keamanan dan kefektifan vaksin akan terus menghantui jika tidak terbukti.

Saya juga bukan anti sains. Saya hormati setiap orang dengan pendiriannya terkait vaksin. 

Yang sangat saya harapkan itu adalah perubahan kebijakan vaksin yang membuka ruang kebebasan bagi setiap warga negara untuk menentukan sikapnya terhadap imunisasi dengan cara vaksinasi. Ini curahan dari dasar hati yang sedang panas dan sesak oleh pewajiban vaksinasi masal... Sungguh, ada banyak cara lain untuk membuat tubuh sehat disamping vaksinasi.

Juga, jikapun hendak memvaksin, diagnosis yang jelas semestinya ditegakkan untuk setiap calon penerima... mungkin bukan dengan cara menyuruh tiap bayi mangap lalu ditetesi vaksin oral dengan alasan demi mememberantas polio, atau menjadikan setiap bayi pincushion alias bantalan jarum-jarum vaksin yang kadang diberikan lebih dari satu suntikan dalam sekali kunjung dokter...

sumber gambar: abc.net.au

8/16/2016

Alasan Menolak Vaksinasi Menurut dr. Kurt Perkins

Alasan menolak vaksinasi mungkin terdengar klise dan menabrak pakem yang berlaku di masyarakat. Penolakan ini akan membuat pelakunya lebih sering dilabeli negatif, bahkan terancam dipidanakan.

Tapi urusan vaksinasi saat ini telah menjadi arena debat panas yang sepertinya tidak akan segera tuntas. Setiap orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Orang tua yang loyal pada imunisasi (baca: vaksinasi) akan berusaha memberi vaksin lengkap pada anak-anak mereka. Sementara yang tidak percaya pada keampuhan vaksin akan sekuat tenaga menghindarinya.

alasan menolak vaksinasi

Ada berbagai alasan untuk menolak vaksin yang mungkin sudah sering kita baca, terlepas vaksin itu asli maupun palsu. Tapi, kali ini saya hadirkan buah pikiran dr. Kurt Perkins, seorang dokter kiropraktik yang berbasis di Colorado, Amerika Serikat.

12/15/2015

Pro Vaksin, Anti Vaksin dan Diantara Keduanya

Banyak dari kita yang percaya bila kontroversi tentang imunisasi dengan cara vaksinasi menjadi monopoli dua pihak saja, pro vaksin dan kontra vaksin alias antivax. Media mainstream memperparah hal ini dengan selalu menyebut setiap orang yang mempertanyakan vaksinasi atau memilih tidak memvaksin diri atau anak-anak mereka sebagai anti vaksin. Lalu, mereka dipojokkan dan dianggap membahayakan masyarakat.

Kalau kita melihat perdebatan tidak langsung yang seru tentang vaksin di internet di negeri ini, mereka yang menolak vaksin banyak yang membuat praduga dan pernyataan yang menyalahkan para praktisi kesehatan, terutama dokter.

Tentu saja, yang dipersalahkan itu tidak bisa menerima begitu saja. Pihak pro vaksin ini pada umumnya mendapat dukungan dari media besar. Mereka berusaha untuk menampik segala tuduhan tentang bahaya fatal yang bisa vaksin timbulkan.

Gantian pihak pro vaksin yang menuduh sebagian 'antivaksin' sebagai penjaja obat-obat/suplemen herbal. 

Tapi, apa iya perseteruan tentang vaksin hanya melibatkan dua kubu ekstrim (pendukung vs penolak itu)?

Peserta Debat Vaksin Tidak Hanya ProVaks dan AntiVaks

Kalau kita lihat di negeri lain, khususnya Amerika Serikat, debat vaksin sudah berlangsung sejak lama. Debat itu bermula sejak vaksin pertama dibuat dan diinjeksikan ke tubuh manusia. Hari ini, kontroversinya terus berlanjut, dan pasti akan ada terus selama vaksin masih diproduksi.


Jangan lewatkan: Kebenaran di Balik Rahasia Vaksin

Memang, sampai saat ini jumlah dokter yang pro vaksinasi jauh di atas yang mengkritisi atau kontra vaksin. Tapi, yang terlibat dalam polemik ini tidak melulu yang pro dan kontra. Ada pihak antara yang punya sikap dan pandangan yang lebih fleksibel terkait vaksin.

Secara garis besar, peserta debat vaksin dikategorikan menjadi 4:

pro vaksin anti vaksin
sumber: healthimpactnews.com

Pertama, pro vaksin ekstrim, pendukung program vaksinasi hardcore. Mereka ini berkata vaksin itu harus bagi setiap anak, atau orang dewasa yang terjadwal mendapatkannya. Buat mereka, semua vaksin itu aman dan efektif. 

Sebabnya, setiap vaksin yang dilepas ke masyarakat sudah lolos uji klinis dalam waktu tertentu sehingga tidak ada alasan untuk meragukan keamanan dan keefektifannya. Kalau perlu, vaksinasi bisa dipaksakan. Pihak ini jumlahnya sedikit, tapi mereka punya pengaruh yang luas.

Contoh figur pro vaksin ekstrim adalah dr. Paul Offit, M.D. dan Anne Schuchat, M.D

Dr. Paul Offit pernah menyatakan jika secara teoritis, seorang anak bisa mendapat 10.000 vaksin dalam sekali waktu dengan aman. Dalam suatu wawancara, beliau malah menyebutkan angka yang lebih besar, 100.000.

Dr. Anne Schuchat sekarang menjabat sebagai direktur CDC sejak Januari 2017.

Kedua, pihak yang cenderung menunda vaksinasi; vaksinasi dilakukan setelah anak mencapai usia tertentu. Bagi mereka, vaksin itu efektif, tetapi tidak bisa diberikan dalam jumlah yang terlalu banyak.

Ketiga, pihak yang melakukan vaksinasi selektif. Ada vaksin yang bagus dan efektif, ada pula vaksin yang tidak berguna. 

Keempat, pihak anti vaksin. Mereka menemukan fakta jika bahaya vaksinasi lebih besar daripada manfaatnya. Ada pula yang berpendirian (bahkan mampu membuktikan) kalau semua vaksin tidak ada manfaatnya, malah merusak kesehatan. Karena itu, program vaksinasi sudah saatnya dihentikan dan diganti dengan cara-cara pencegahan penyakit yang lebih aman. Jumlah anti vaksin ini juga sedikit. 

Contoh praktisi medis yang ditengarai mengambil posisi ini adalah dr. Richard Moskowitz, dr. Suzanne Humphries, dr. Sherri Tenpenny, dan mendiang dr. Andrew Moulden.

Note: Meski disebut sebagai anti vaksin, beberapa dari mereka, misalnya dr. Suzanne Humphries tidak pernah memprovokasi orang untuk menolak vaksinasi. Dr. Humphries hanya memberi gambaran umum, yang dari situ orang mungkin akan tergerak untuk mencari tahu dan melengkapi informasi tentang vaksin sampai bisa memutuskan sendiri sikapnya terhadap vaksinasi, silakan cek di sini.



Para dokter yang mengambil sikap fleksibel atau anti vaksin itu semula adalah pro vaksin. Bukankah demikian yang diajarkan dalam pendidikan kedokteran? 

Seiring waktu, mereka menyaksikan ketidakberesan yang terjadi pada pasien-pasien mereka yang diduga kuat akibat vaksin. Coba kita dengarkan ungkapan dr. Lawrence Palevsky, seorang dokter anak di Mount Sinai Hospital, New York, seperti ini:

"Saya tidak berpaling ketika saya dengar para orang tua -lusinan, ratusan, dan lalu ribuan jumlahnya- mulai mengatakan jika anak-anak mereka dulu sehat, kemudian setelah divaksin, suatu hal yang benar-benar buruk terjadi pada diri mereka secara akut atau dalam hitungan hari, minggu atau bahkan bulan. Mereka diberitahu oleh sistem medis konvensional kalau 100 persen kejadian itu, "Adalah kebetulan. Tidak mungkin berhubungan dengan vaksin."

Sebagai seorang yang penasaran akan sains dan penyelidikan, bagi saya jelas bahwa bisa jadi kejadian itu bukanlah suatu kebetulan dan peristiwa yang lebih besar mungkin sedang terjadi.

Literatur sangat mendukung fakta jika vaksin memiliki hasil sampingan yang lebih besar terhadap genotip, sistem imun, otak, dan fungsi-fungsi intraseluler tubuh daripada yang kita ungkapkan kepada publik." (1)
Kalau di negeri ini, kejadian seperti: balita tewas usai ikut PIN (2) akan disebut sebagai, persis seperti kata-kata tenaga medis konvensional  yang dikutip oleh dr. Palevsky di atas: tidak mungkin berkaitan dengan vaksin (OPV, vaksin polio oral/tetes). Jawaban standar yang diulang ratusan, mungkin ribuan kali dalam merespon kejadian (fatal) ikutan paska imunisasi. 

Lantas mereka (para dokter yang tidak puas dengan argumen medis konvensional tentang vaksin) meneliti hal itu secara independen. Mempertanyakan ulang tentang vaksin dan vaksinasi: secara medis, fakta sejarah, juga dari pengalaman sendiri dan atau laporan dari orang tua anak yang terkena dampak (buruk) vaksin. Berulang dan berulang hingga lahirlah sikap baru mereka terhadap vaksin.

"Jika hendak berargumen tentang vaksin, kita harus punya informasi dan ilmu pengetahuan. Kita harus mengerti sejarah, literatur medis, ilmu biologi, kimia, fisiologi dan imunologi. Ini tidak mudah. Anda tidak bisa setengah-setengah dalam (mendalami) topik vaksinasi. Kalau seperti itu, sangat mungkin Anda akan dipecundangi oleh lobi vaksin karena mereka telah melakukan pekerjaan rumah mereka."
"...Daripada memperdebatkan jenis vaksin tertentu, bila Anda memahami cara sistem imun bayi dirancang, secara otomatis Anda bisa mengerti bahwa, jika Anda berikan vaksin jenis apapun ke sistem itu, mungkin Anda memberinya kekebalan jangka pendek, tapi dengan begitu, Anda juga akan mengubah sistem kekebalan tubuh mereka sehingga sistem tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana ia dirancang... Ketika Anda benar-benar memahami sistem imun bayi, argumen-argumen yang menentang vaksin saya kira tidak bisa disangkal lagi." (dr. Suzanne Humphries) (3)
Lagipula, bila vaksin memang aman dan efektif, mengapa pembocor demi pembocor vaksin selalu bermunculan dari waktu ke waktu? Mereka yang dulunya orang dalam berubah haluan lalu memberi kesaksian tentang kecurangan dan penyimpangan terkait vaksin di tempatnya bekerja semula? Seperti duo saintis (ahli virologi) Stephen Krahling dan Joan Wlochowski dari Merck, juga dr. William Thompson mantan anggota/ilmuwan senior CDC. (4)

Satu hal yang unik dari dr. William Thompson adalah, beliau bukan seorang penentang vaksin. Yang beliau tentang adalah praktik penipuan dan kebohongan di tempatnya bekerja dahulu (CDC).

Kasus dr. Thompson berupa, atasannya di CDC memerintahkan untuk mengubur fakta dari hasil riset yang menyatakan jika vaksin MMR berkorelasi positif dengan kasus autisme pada anak-anak laki-laki keturunan Afrika-Amerika. Dan informasi seperti ini adalah salah satu info yang PALING DISENSOR oleh media mainstream.

Menurutnya, CDC telah gagal mengomunikasikan bahaya yang menyertai setiap vaksin kepada masyarakat, padahal itu sudah menjadi semacam tanggung jawab moral lembaga kesehatan. Pengakuan dr. Thompson atas kebohongan ilmiah yang pernah dilakukannya ditujukan untuk publik. (5)

Selepas dr. William Thompson, ilmuwan CDC lain pun membocorkan hal yang serupa. Dr. Judith Pinborough Zimmerman adalah mantan investigator autisme CDC  di Utah. Dia membuat pernyataan tentang adanya tebang pilih data sehingga membuat pelaporan kasus autisme di Utah tidak akurat. (6)

CDC sendiri mengakui jika vaksin bisa menyebabkan banyak reaksi berupa kerusakan (some say: mutilasi) pada tubuh penerimanya. Foto-foto terkait ada di sini: http://www.bt.cdc.gov/Agent/Smallpox/VaccineImages.asp


Laman punya CDC di atas sekarang sudah tidak bisa diakses. Benarlah kata Health Ranger dari naturalnews jika postingan seperti ini akan segera dihilangkan. Tapi kopiannya telah diamankan dan bisa Anda saksikan di sini. 

Sedikit peringatan, gambar2 kerusakan tubuh terkait vaksin bisa jadi terlihat menyeramkan.

Kelompok antara ini memilih untuk bersikap fleksibel atas tindakan imunisasi/vaksinasi. Tapi media besar -yang didukung big farma- selalu mendiskreditkan mereka. Reputasi dirusak, disebut quack, loon,  anti sains, ilmuwan sampah, ilmuwan pinggiran, hingga terancam karirnya. Semua praktisi medis yang bersikap kritis terhadap vaksin harus siap dengan risiko seburuk ini.


Terkait: Kemustahilan Kekebalan Kelompok Dari Hasil Vaksinasi

Kita lihat dr. Andrew Wakefield. Beliau adalah pro vaksin ketika meriset hubungan antara vaksin MMR dan autisme. Itu pun atas permintaan orang tua dari anak-anak yang menjadi korban. Hasil risetnya malah membuat karir medisnya dihancurkan. Setelah peristiwa itu, beliau tidak serta merta menjadi anti vaksin, tapi menjadi pihak 'antara.'

Belum lama ini dr. Wakefield merilis film dokumenter VAXXED: From Cover-Up to Catasthrope. Film yang diantara isinya berisi pengakuan dr. William Thompson di atas, telah disensor dari festival film New York per Maret 2016. Alih-alih mendiskusikan pesan yang disampaikan dalam Vaxxed secara terbuka, para penggiat vaksinasi lebih suka menyerang karakter dr. Wakefield.  

Dr. Paul Offit yang sering disebut sebagai sebagai musuh bebuyutannya dr. Wakefield juga melakukannya. Dr. Offit masih saja menyerang karakter dr. Andrew Wakefield, bukan berfokus pada apa yang dr Wakefield temukan atau katakan. (7) Tidakkah Anda bertanya, mengapa?

Lebih jauh tentang film ini silakan lihat di vaxxedthemovie.com

Para dokter yang terlibat dalam perdebatan vaksin, kalau dikategorikan lagi, akan sangat beragam. Ada yang lebih dekat ke pro, ada yang lebih cenderung ke kontra. Mereka yang berada di antara ekstrimis pro dan anti vaksin itu, terlebih yang condong ke kontra akan digeneralisasi oleh media sebagai anti vaksin.

Nama-nama berikut termasuk di dalamnya: dr. Mark  Geier, dr. Natasha Campbell Mc-Bride, dr. David Brownstein, dr. Jay Gordon, dr. Joseph Mercola, dr. Philip Incao, dr. Mayer Eisenstein, dr. Lawrence Palevsky,  dr. Russell Blaylock, dr. Kelly Brogan, dan masih banyak yang lain.

Kalau kita membaca pernyataan para dokter ini, secara umum mereka mengedepankan agar kita mau mencari tahu, meriset, mendidik diri sendiri lebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengambil suatu vaksin atau tidak. Mereka tidak melulu menakut-nakuti pasien akan bahaya jika vaksinasi tidak dilakukan, tapi mereka memberi pasien informasi dari sudut pandang yang berbeda.

Bagaimana dengan negeri kita? Banyakkah dokter yang mau melihat persoalan vaksin ini dari banyak sisi dan tidak memaksakannya kepada pasien mereka? Betapa menyenangkannya bertemu dengan praktisi medis seperti ini...

Bila Anda seorang dokter, pernahkah Anda menyaksikan kejanggalan terkait vaksin pada pasien Anda? Lalu menyelidikinya lebih jauh?


*diperbarui April 2017


Referensi:

(1) Dr. Mercola Interviews Dr. Palevsky
(2) http://bandungekspres.co.id/2016/balita-tewas-usai-ikut-pin/
(3) The Forgotten History of Vaccination You Need to be Aware of
(4) http://www.globalresearch.ca/congressman-bill-posey-calls-for-investigation-of-cdc-whistleblower-william-thompson/5469103
(5) http://www.truthwiki.org/dr-william-thompson
(6) http://ahrp.org/lawsuit-by-principal-investigator-for-cdc-utah-autism-data-filed-whistleblower-lawsuit/
(7) http://www.hollywoodreporter.com/news/anti-vaccine-doc-vaxxed-a-882651