11/07/2016

Menikmati Nikmat Terindah, Menulis

Zaman dulu, -entah sekarang- ada rubrik bertajuk "Menulis Adalah Nikmat Terindah" di majalah An-Nida. Isinya berupa opini, analisis, atau pesan dari seorang penulis profesional. Saat itu pemegang rubriknya adalah Jony Ariadinata. Bagaimana menulis bisa dikatakan sebagai nikmat terindah?

Yang bisa merasakan langsung kenikmatan ini adalah penulis itu sendiri; orang-orang yang telah menjadikan menulis sebagai kebiasaan sehari-hari. Bahkan setiap saat selagi ada kesempatan, dia akan ambil itu untuk membuat tulisan. Kita tidak bisa merasakan nikmat ini bila kita sekadar menjadi penikmat tulisan. Menjadi konsumen, menjadi pembaca.

menulis nikmat terindah

Alhamdulillah, sejak Mei 2015, menulis telah saya canangkan menjadi bagian dari aktivitas harian. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya paksakan diri untuk menulis setiap hari. Tulisan saya lebih banyak yang tercatat di kertas, bukan di blog. Memang ada satu dua hari yang terlompati dengan tanpa tulisan akibat fisik yang kecapean dan alasan lainnya.

Berbeda dengan coretan-coretan saya di kertas, saya masih keteteran dalam menulis di blog ini. Ada jeda panjang dan tidak beraturan yang membuat konten blog ini masih sedikit sejak pertama kali dibuat setahun yang lalu.

Walaupun tidak ada yang baca selain diri sendiri, menulis off-line itu begitu terasa nikmatnya. Tidak ada kegiatan lain yang mampu menggantikannya. Begitu terbiasa menulis, bila sehari saja terlewat tanpa menghasilkan tulisan sependek apapun, rasanya sudah seperti mau gila. Ide-ide yang semula menari menggoda di kepala berubah menjadi ganas; menendang dan mematuk liar memaksa untuk dikeluarkan. Pintu keluar itu berujud tulisan.

Dengan ngeblog, tentu acara menulis di kertas jadi terinterupsi. Karena ngeblog butuh waktu. Sedikit atau lamanya tergantung ke kita. Blog juga perlu didandani agar tampilannya terlihat cukup menarik. Itu cukup menguras waktu dan energi.

Balik lagi ke nikmat menulis nikmat terindah. Dulu pernah saya menulis artikel tentang resep penurun IQ. Di satu sisi, kita dibombardir oleh aneka produk modern yang di permukaan sangat membantu dan membuat praktis kehidupan kita sehari-hari.

Tapi di sisi lain, tidak jarang produk yang gencar dipromosikan itu punya dampak buruk bagi tubuh. Satu diantaranya adalah membuat otak semakin bebal sehingga kecerdasan pun kian menurun. IQ memang bukan hal terpenting pada diri seseorang, hanya saja ia punya peran besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Menulis punya tempat istimewa dalam perkembangan ilmu. Sementara, kita bisa rasakan dan saksikan bagaimana kemampuan menulis menempatkan posisinya dalam pikiran generasi muda kita. Rata-rata anak muda sekarang punya kemampuan menulis yang buruk. Tentunya keadaan ini cukup membuat kita sedih.

Sehabis menulis tentang penurun IQ itu, saya menemukan sejumlah tulisan yang mengulas budaya menulis dan kaitannya dengan kemajuan umat Islam. Saat ini kita jauuuh tertinggal secara keilmuan dari umat Islam di masa hidupnya ulama-ulama salaf (terdahulu). Juga terbelakang dibandingakan antusiasme keilmuan generasi sahabat yang bercirikan masifnya usaha belajar menulis dan mengahafal.

Kini saya sudah bisa berkelana menyusuri tulisan-tulisan saya sendiri. Ada rasa lega yang sulit dilukiskan di dalam dada. Seandainya saya tidak menulis, pastilah ide-ide itu telah beterbangan entah kemana. Kini saya coba untuk mulai rutin menulis di blog, agar tidak terlalu banyak hari-hari yang kosong tanpa postingan.

Kalau Anda, sudahkah Anda merasakan nikmatnya menulis di kehidupan?

Kalau belum, yuk mulai menulis, biar ada sesuatu yang bisa kita tinggalkan di suatu hari nanti.

0 comments:

Post a Comment

I'd love to hear you saying something: